Hukma Shabiyya

Berhentilah sejenak. Tengoklah, apa yang terjadi pada anak-anak kita sekarang. Gizi semakin baik, tetapi kematangan mereka agaknya tak lebih baik dibanding beberapa generasi sebelumnya. Terlebih jika kita bercermin pada generasi awal kaum muslimin. Lihatlah, betapa beliau usia Imam Syafi’i rahimahullah ketika ia diberi kepercayaan oleh gurunya, Imam Malik rahimahullah. Imam Syafi’i telah hafal Al-Qur’an di usia 7 tahun bukan karena masuk lembaga tahfidz, tetapi karena kecintaannya yang sangat besar kepada kitabullah mendorong ia untuk bersungguh-sungguh membaca dan mengingatnya. Ada kecintaan dan ada seorang ibu yang setiap saat mengakrabkannya dengan Al-Qur’an.

Dari Ma’aali at-Ta’sis fi Manaqib Ibnu Idris sebagaimana ditulis oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Idris –maksudnya Imam Syafi’i- hafal Al-Qur’an usia 7 tahun dan hafal Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 9 tahun. Di usia 10 tahun, Imam Syafi’i telah menguasai tafsir Al-Qur’an –sesuatu yang amat langka untuk zaman kita ini, bahkan untuk orang dewasa. Kemampuan menghafal dan memahami kitab ini selain berkait dengan kecerdasan, juga terutama berhubungan dengan telah tumbuh kuatnya kecintaan pada agama serta keyakinan kepada kitabullah sehingga ia memiliki hikmah semenjak usia kanak-kanak.

Imam Syafi’i rahimahullah bukanlah satu-satunya. Jika kita menelusuri sejarah peradaban Islam, kita akan temukan betapa banyak tokoh yang menggetarkan dunia dan mereka telah menampakkan kecintaan amat besar kepada agama ini. Mereka sangat dekat hidupnya dengan Al-Qur’an, mencintainya dan meyakini isinya sehingga dengan itu mereka bersungguh-sungguh menghafalkan seraya memahami maknanya. Mereka sangat bergairah terhadap Al-Qur’an –sesuatu yang tampaknya makin menjauh dari kita dan anak-anak kita.

Mari kita ingat sejenak nasehat Jundub Ibnu ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Sahabat Nabi saw. ini mengomentari generasi tabi’in yang mendahulukan belajar Al-Qur’an dengan berkata, “Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur`an, kemudian belajar Al-Qur`an sehingga dengannya bertambahlah iman kami.”

Jika generasi tabi’in yang mempelajari Al-Qur’an sebelum matang mempelajari iman saja dinasehati seperti itu oleh Jundub ibnu ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, maka apakah yang akan dikatakannya tentang anak-anak kita? Padahal tabi’in adalah sebaik-baik generasi sesudah generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Sementara hari ini, di sekolah-sekolah Islam maupun di rumah-rumah kita,anak-anak bahkan belum belajar keduanya (iman dan Al-Qur’an) ketika mereka belajar gerak dan lagu. Subhanallah.... Maha Suci Allah Ta’ala. Betapa jauh bedanya.... Maka, apakah yang dapat kita harapkan dari anak-anak kita? Orangtua semacam apakah kita ini?

Astaghfirullah.... Semoga Allah Ta’ala ampuni kita. Semoga pula Allah Ta’ala karuniakan kemampuan dan kesediaan untuk memperbaiki kesalahan kita sebagai orangtua. Semoga pula Allah Ta’ala baguskan anak-anak kita, betapa pun kita masih amat jauh dari layak dalam mendidik.
Berbincang tentang hukma-shabiyya, teringatlah saya pada Al-Qur’an surat Maryam. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak (hukma shabiyya), dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam, 19: 12-14).

Inilah ayat-ayat yang bertutur tentang Nabi Yahya ‘alaihissalaam, putera Nabi Zakariya‘alaihissalaam yang Allah Ta’ala karuniakan tatkala usianya telah senja dan uban memenuhi kepala. Allah Ta’ala beri keturunan yang berlimpah kesejahteraan sejak hari dilahirkan hingga kelak saat dibangkitkan di Yaumil-Qiyamah. Allah Ta’ala sendiri yang menamai Yahya.

Banyak pelajaran yang patut kita renungi dari ayat-ayat ini. Pertama, betapa Allah Ta’ala senantiasa mendengarkan do’a kita. Dan Allah Ta’ala Maha Kuasa untuk mengabulkan do’a kita meski rasanya sudah tak mungkin lagi punya keturunan. Kedua, kesungguhan dalam memohon kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh pengharapan dapat menjadi sebab Allah Ta’ala karuniakan kebaikan pada anak kita.

Ada pelajaran lain yang perlu kita renungkan. Keutamaan, kemuliaan dan kekhususan Nabi Yahya ‘alaihissalam sungguh semata-mata dari Allah ‘Azza wa Jalla. Maha Kuasa Allah Ta’ala untuk memberikan keistimewaan dan kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Berkait dengan tugas kita sebagai orangtua, bagian kita adalah mengambil pelajaran tentang apa yang menjadikan Nabi Yahya ‘alaihissalam memiliki keistimewaanhukma shabiyya, yakni hikmah selagi ia masih kanak-kanak. Semoga Allah Ta’ala limpahi kita ‘ilmu dan menolong kita untuk mendidik anak-anak kita agar dapat menjadi hamba-Nya yang bersyukur dan meninggikan kalimat Allah Ta’ala di muka bumi.

Di antara hal-hal yang patut kita catat untuk kemudian kita usahakan pada anak kita adalah: menumbuhkan kecintaan dan keyakinannya kepada kitabullah. Jika mereka yakin dengan Al-Qur’an, maka mereka akan menerima sepenuhnya apa yang difirmankan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka menyambutnya tanpa keraguan dan membacanya dengan penuh kecintaan. Dan lihatlah betapa tidak ada yang lebih mudah kita ingat melebihi apa yang kita cintai. Kita mudah mengingati apa yang sangat berharga –betul-betul kita rasa berharga—buat diri kita. Semakin besar kecintaan kita kepadanya, semakin besar perhatian kita kepadanya dan semakin lekat ingatan kita terhadapnya. Yang demikian ini serupa dengan perkara yang sulit kita lupakan. Sekilas mirip, tetapi sebenarnya keduanya sangat berbeda, perkara yang paling sulit kita lupakan adalah yang paling membekaskan luka atau keperihan dalam diri kita.

Pertanyaannya, apakah yang sudah kita lakukan untuk menumbuhkan kecintaan dan keyakinan kepada kitabullah dalam diri anak-anak kita? Astaghfirullah... sekali lagi kita memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas kelalaian kita menanamkan bekal berharga ini dalam diri anak kita. Semoga kita dapat memperbaikinya. Semoga pula kita tidak lalai menanamkan kepada anak-anak kita berikutnya yang saat ini masih baru lahir. Maka, bersyukurlah jika Allah Ta’ala berikan karunia lebih dari dua anak.

Jika kecintaan dan keyakinan kepada kitabullah telah tertanam dalam diri mereka, berikutnya yang perlu kita perhatikan selaku orangtua dan guru PAUD adalah menumbuhkan hasrat kuat untuk berpegang pada kitabullah dengan penuh kesungguhan. Pertanyaannya, seberapa dekat kita dengan Al-Qur’an? Adakah kita mengambil petunjuk darinya? Jika tidak, lalu adakah kepatutan dalam diri kita untuk menumbuhkan tekad menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan hidup anak-anak kita.

MasyaAllah.... betapa besar tugas kita sebagai orangtua. Dan betapa sedikit bekal yang kita miliki.

Jika ini kita lakukan, diiringi do’a kita yang amat tulus –terutama do’a ibu yang melahirkannya—kita berharap anak-anak itu akan memiliki hikmah di saat usianya masih kanak-kanak atau belia. Barangkali amat jauh dibanding generasi terbaik Islam, tetapi kita sungguh berharap anak-anak itu setidaknya telah memiliki arah hidup yang jauh lebih terarah dibanding anak-anak seusianya di negeri ini.

Ada fakta sederhana yang perlu kita renungkan. Para ahli psikologi perkembangan meyakini bahwa remaja merupakan masa keguncangan, masa krisis identitas yang penuh badai (storm & stress). Mereka meyakini ini sebagai hukum perkembangan yang pasti terjadi pada siapa pun. Tetapi kita dapati bahwa di berbagai belahan bumi, khususnya di Timur Tengah, para remaja tidak mengalami apa yang dulu para ahli psikologi perkembangan menganggapnya sebagai kepastian. Sejumlah remaja justru baru mengalami keguncangan ini ketika mereka tak lagi dibesarkan dengan pendidikan yang memberi arah bagi hidup mereka. Inilah yang dapat catat dari buku 50 Mitos Keliru dalam Psikologi karya Scott O. Lilienfeld, Steven Jay Lynn, John Ruscio, Barry L. Beyerstein. Pun buku Adolescence karya John W. Santrock, meski hanya sekilas.

Apalagi yang harus kita bekalkan kepada anak-anak kita? Takwa kepada Allah Ta’ala dan berbuat kebajikan kepada kedua orangtua (birrul walidain). Kita tumbuhkan dorongan dalam diri mereka dengan sepenuh kesungguhan.

Sesudahnya, kita didik mereka agar menjadi orang yang rendah hati, tidak sombong dan tidak berlaku aniaya. Kita siapkan mereka agar tak merendahkan siapa pun, tidak pula mencela apa yang mereka tidak kuasa menentukannya, yakni terkait apa yang ditakdirkan Allah Ta’ala bagi mereka. Tak ada kelebihan orang yang berkulit putih dibanding yang berkulit hitam pekat. Tidak pula yang mancung lebih utama dibanding yang hidungnya rata. Hak mereka hanyalah tidak menyukai perbuatan buruk yang dilakukan manusia seraya menunjukkan kepada anak kita hak saudaranya seiman, yakni diingatkan dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Semoga kelak kita dapat mempertanggung-jawabkan tugas kita sebagai orangtua. Semoga kelak anak-anak kita menjadi penyejuk mata di akhirat. Bukan sebab terjerembabnya kita ke dalam api neraka.

Maafkan saya. Ingatkan saya. Nasehati saya.
--------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages